Ngopi sambil ngobrol soal mainan anak itu seru, iya kan? Dari obrolan sekolah, bekal, sampai… mainan. Belakangan ini banyak orangtua yang pindah fokus dari sekadar “lucu” ke “berguna”. Mainan edukasi menawarkan kedua-duanya: menyenangkan sekaligus menstimulasi perkembangan motorik, kognitif, dan sosial anak. Kalau saya, setelah mencoba beberapa jenis, baru ngerti kenapa orang bilang investasi pada mainan itu bukan sekadar bujet, tapi juga waktu dan perhatian.
Saya sudah coba beberapa kategori mainan: balok kayu, set STEM sederhana, puzzle, dan beberapa mainan plastik bermerek. Balok kayu—juara untuk imaginasi. Anak bisa bikin rumah, jembatan, sampai monster. Kelebihannya tahan lama dan aman, minusnya agak berat kalau kebanyakan. Set STEM? Bagus banget untuk pengenalan logika dan sebab-akibat. Tapi ada yang komponennya kecil; harus ekstra jaga kalau ada anak kecil di rumah. Puzzle membantu fokus dan sabar. Mainan plastik bermerek sering eye-catching, interaktif, tapi kadang terlalu “terarah” sehingga anak cuma menekan tombol tanpa mikir.
Satu catatan praktis: periksa kualitas bahan dan sertifikasi keamanan. Saya pernah beli mainan murah yang catnya cepat mengelupas—langsung masuk daftar hitam di rumah. Untuk referensi mainan yang lebih terpercaya, saya sering lihat katalog online seperti harmonttoys, cuma sebagai salah satu titik awal sebelum baca review orang tua lain.
Sekarang tren bergeser ke mainan yang fleksibel dan open-ended. Artinya? Mainan yang nggak punya satu cara main aja. Misalnya blok magnetik yang bisa jadi robot atau kastil; atau kit sains yang memungkinkan eksperimen berkali-kali tanpa habis. Ada juga meningkatnya preferensi terhadap mainan berbasis alam dan bahan ramah lingkungan. Montessori vibes semakin populer karena prinsipnya sederhana: berikan alat yang memfasilitasi kemandirian anak.
Teknologi tetap masuk, tapi lebih ke hybrid—aplikasi yang mendampingi mainan fisik, bukan menggantikan. Orangtua pinter memilih mainan layar-minimal yang mendorong interaksi nyata. Dan jangan kaget kalau banyak mainan kini di desain dengan tujuan mengembangkan kecerdasan emosional, bukan sekedar kognitif.
Pilih berdasarkan usia, minat, dan tujuan. Gampangnya: tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang mau dikembangkan?” Motorik halus? Pilih puzzle dan kancing-kancingan. Kreativitas? Pilih bahan open-ended seperti clay atau blok. Sosialisasi? Permainan peran atau board game sederhana lebih pas. Satu trik yang saya suka: rotasi mainan. Simpan sebagian, keluarkan bergantian. Anak merasa mainan “baru” lagi dan kita bisa menghemat ruang rumah.
Libatkan anak saat memilih. Kalau dia merasa terlibat, kemungkinan besar mainan itu akan digunakan lebih lama. Juga, buat sesi bermain yang berkualitas: matikan gangguan, duduk bareng, berikan pertanyaan terbuka. Bukan cuma “ini buat apa?” tapi “apa yang bisa kita buat dari benda ini?”
Tak perlu mahal. Berikut beberapa ide yang sering kami lakukan di rumah: membuat pasar mini dengan kotak-kotak bekas, treasure hunt di halaman dengan petunjuk sederhana, atau mengubah meja makan jadi studio seni dengan kertas besar dan cat air. Untuk anak yang suka sains, eksperimen sederhana seperti membuat gunung meletus dari soda dan cuka selalu jadi hit. Dan kalau ingin tenang sejenak, beri mereka proyek konstruksi besar—balok kayu + waktu = fokus luar biasa.
Intinya: mainan edukasi terbaik tetap yang bisa membangkitkan rasa ingin tahu. Mainan itu hanya alat—yang paling penting adalah bagaimana kita mendampinginya. Kadang, duduk bareng, bertanya, dan ikut bermain jauh lebih bernilai daripada mainan termahal sekalipun.
Ketika Kecerdasan Buatan Mengubah Cara Kita Bekerja Dan Berinteraksi Dalam dekade terakhir, kecerdasan buatan (AI)…
Belajar Dari Kegagalan Menggunakan Software Baru yang Ternyata Menyebalkan Dalam dunia teknologi yang terus berkembang,…
Mengapa Hidupku Jadi Lebih Mudah Setelah Mengenal Automation Beberapa tahun yang lalu, saya merasa hidup…
Pernah Coba Serum Ini? Pengalaman Pribadi yang Bikin Penasaran! Beberapa bulan yang lalu, saya menemukan…
Menggali Potensi AI Tools Dari Pengalaman Sehari-hari yang Tak Terduga Di era digital ini, kecerdasan…
Malam yang Dimulai dengan Layar dan Secangkir Kopi Jam menunjukkan 01.12 ketika saya menutup dokumen…